Selasa, 21 Desember 2010

TARJIH ANTARA MADZHAB IMAM AHMAD DAN IMAM SYAF’I

TARJIH ANTARA MADZHAB IMAM AHMAD DAN IMAM SYAF’I PDF Cetak
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Hafizhahulloh   
Sabtu, 04 Desember 2010 22:08

Barangsiapa yang memperhatikan kedua pendapat tersebut, dia akan mengetahui bahwa pendapat Imam Syafi'i merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan yang berjalan bersama dalil. Hal ini dapat terlihat dari hadits Abu Humaid As-Sa'idi radiallohu anhu,, yang menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, secara terperinci. Berikut ini penjelasan tentang hadits tersebut:

Abu Humaid radiallohu ‘anhu, membedakan antara duduk diakhir shalat dengan duduk yang bukan diakhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafadz "Dan jika beliau duduk pada raka'at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)". Dari lafadz ini menunjukkan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, dan bukan akhir shalat. Penyebutan lafadz "dua raka'at" bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah "raka'at yang bukan akhir shalat". Berdasarkan beberapa alasan berikut:

Pertama: Mafhum dari lafadz setelahnya "Dan jika beliau duduk pada raka'at terakhir" menunjukkan bahwa lafadz sebelumnya bermakna yang bukan raka'at terakhir.
Kedua: Mafhum Al-'Adad menurut para ahli ushul termasuk diantara dalil yang paling lemah. Yang dimaksud Mafhum Al-'Adad adalah menyandarkan satu hukum kepada bilangan tertentu yang disebut dalam sebuah nash. Seperti contoh, firman Allah Ta'ala:
{ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً } [ النور : 4].
"Maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan" (QS. An-Nur: 4).

Maka difahami dari ayat ini bahwa pencambukan tersebut dilakukan sebanyak delapan puluh kali, tidak lebih dan tidak pula kurang dari jumlah tersebut. Tetapi pemahaman ini tidak sepenuhnya bisa dijadikan dalil pada setiap tempat, namun harus dikembalikan kepada penguat (qorinah) yang ada. Seperti contoh hadits Abu Hurairah radiallohu anhu, bahwa beliau berkata:
كَانَ لِسُلَيْمَانَ سِتُّونَ امْرَأَةً فَقَالَ لأَطُوفَنَّ عَلَيْهِنَّ اللَّيْلَةَ فَتَحْمِلُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَتَلِدُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ غُلاَمًا فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَمْ تَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ وَاحِدَةٌ فَوَلَدَتْ نِصْفَ إِنْسَانٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ اسْتَثْنَى لَوَلَدَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ غُلاَمًا فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
"Sulaiman  memiliki 60 istri, lalu beliau mengatakan: Saya akan berkeliling mendatangi mereka pada malam hari ini, sehingga setiap dari mereka mengandung, lalu setiap dari mereka melahirkan seorang anak yang menjadi penunggang kuda yang akan berperang dijalan Allah. Namun tidak ada yang hamil dari mereka kecuali satu orang yang kemudian melahirkan setengah manusia. Maka Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda: Sekiranya ia mengatakan "Insya Allah", niscaya akan melahirkan setiap mereka seorang anak lelaki yang menjadi penunggang kuda dijalan Allah."[1]

Perhatikan penyebutan jumlah 60 istri dalam hadits ini tidak menunjukkan bahwa istri beliau tidak lebih dari itu, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyebutkan jumlah yang berbeda dari yang disebutkan dalam hadits ini. Berkata An-Nawawi tatkala mengomentari hadits ini:
وَفِي رِوَايَةٍ : (( سَبْعُونَ )) وَفِي رِوَايَةٍ : (( تِسْعُونَ )) وَفِي غَيْرِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ (( تِسْعٌ وَتِسْعُونَ )) وَفِي رِوَايَةٍ : (( مِائَةٌ )) . هَذَا كُلُّهُ لَيْسَ بِمُتَعَارِضٍ لأَنَّهُ لَيْسَ فِي ذِكْرِ الْقَلِيْلِ نَفْي الْكَثِيْرِ ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا مَرَّات ، وَهُوَ مِنْ مَفْهُومِ الْعَدَدِ ، وَلاَ يُعْمَلُ بِهِ عِنْدَ جَمَاهِيْرِ اْلأُصُولِيِّينَ.
"Dalam satu riwayat "70", dan dalam riwayat lain "90", dan dalam riwayat di luar shahih Muslim "99", dan dalam riwayat lain "100". Ini semua tidak bertentangan, sebab penyebutan bilangan yang sedikit tidak menafikan yang banyak. Telah berkali-kali penjelasan tentang hal ini. Dan ini termasuk mafhum al-'adad, dan itu tidak diamalkan menurut kebanyakan dari para ahli ushul".[2]

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mengatakan :
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ دَلاَلَةَ مَفْهُوم الْعَدَدِ لَيْسَتْ يَقِيْنِيَّة إِنَّمَا هِيَ مُحْتَمَلَةٌ
"Dan yang benar bahwa penunjukan mafhum al 'adad tidaklah yakin (tidak bersifat pasti), namun hanya bersifat kemungkinan".[3]
Jika kita telah memahami hal ini, maka yang dimaksud dalam hadits tersebut bukanlah "dua raka'at", namun maknanya adalah "duduk yang bukan raka'at terakhir". Sehingga semakin dikuatkan dengan hadits Nabi  - bahwa beliau bersabda:
(( فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ)).
"Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma'ninah, dan hamparkan paha kirimu - agar engkau duduk diatasnya - (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud"[4]

Maka hadits ini menjelaskan tentang keadaan duduk iftirasy tersebut dilakukan dipertengahan shalat, sedangkan lafadz hadits Abu Humaid "dan jika beliau duduk pada raka'at terakhir", dengan berbagai lafadznya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (yaitu penunjukkan lafadz yang sesuai pada peletakannya), dan manthuq lebih didahulukan daripada mafhum. Wallahul muwaffiq.

Adapun hadits Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk iftirasy, tidak menyebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan shalat ataukah pada akhirnya, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin 'Umar yang mengatakan:
إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى.
"Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu"[5]

Beliau hanya menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat.
Jika ada yang berkata: Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.

Maka kami menjawab: Hadits Ibnu 'Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu 'Umar radiollohu ‘anhu, mengatakan “Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin 'Umar secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.
Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahhud bukan hanya shalat yang berjumlah dua raka'at, namun disana ada shalat yang berjumlah satu raka'at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat raka'at dengan satu tasyahhud, lima raka'at dengan satu tasyahhud, tujuh raka'at dimana beliau duduk tasyahhud pada raka'at keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, Sembilan raka'at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan keraka'at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana anda menyikapi cara duduk di dalam shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang "dua raka'at". Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafi’i رحمه الله, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat difahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelaskan tentang permasalahan ini.

Kesimpulannya bahwa hadits Abu Humaid radiallohu ‘anhu, adalah hadits yang menjelaskan tentang tata cara Shalat Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, pada seluruh shalat, apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud. Jika duduk dilakukan dipertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirasy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid radillohu ‘anhu, merupakan hadits yang bersifat umum, maka hadits yang bersifat umum/global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Wallahul muwaffiq.
Dan dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan bolehnya memilih duduk mana saja yang dia inginkan.


Sumber : Risalah Ilmiah Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat Hal : 43-55


[1] (HR. Muslim, Kitabul Aymaan, Bab: Al-Istitsnaa': 1654).
[2] (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi: 11/120).
[3] (Fathul Bari: 3/146).
[4] (HR. Abu Dawud dari Rifa'ah bin Rafi', dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Ashlu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).

[5] (HR. Bukhari: /827, bersama Fathul Bari).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar