Selasa, 08 Februari 2011

KEWAJIBAN PARA DA'I ADALAH MEMBERI NASEHAT, HUKUM BERBUAT ANIAYA TERHADAP ORANG KAFIR DAN PELAKU MAKSIAT, KAIDAH-KAIDAH AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan :
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sekiranya kita tetapkan bahwa syarat-syarat diadakannya pemberontakan terhadap penguasa telah terpenuhi menurut sekelompok orang, apakah hal ini berarti pembantu-pembantu penguasa tersebut dan setiap orang yang bekerja dalam pemerintahannya boleh dibunuh ? Seperti ; Tentara, polisi dan aparat-aparat pemerintah lainnya.

Jawaban :
Telah saya sebutkan tadi bahwa tidak dibolehkan memberontak penguasa kecuali dengan dua syarat :

[1] Telah tampak kekafiran yang nyata pada penguasa tersebut dan terdapat keterangan dan dalil dari Allah.

[2] Adanya kemampuan menggeser penguasa tersebut tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Sama sekali tidak diperbolehkan tanpa dua syarat tersebut.

Pertanyaan :
Sebagian pemuda berasumsi bahwa bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang tinggal di negeri-negeri Islam atau orang-orang yang berkunjung ke negeri tersebut termasuk perbuatan yang dibenarkan syariat. Oleh sebab itu, sebagian pemuda tadi menghalalkan darah dan harta orang-orang kafir tersebut apabila didapati perkara mungkar pada mereka.

Jawaban :
Tidak dibolehkan membunuh orang-orang kafir musta'min yang diterima oleh negara yang berdaulat secara damai. Dan tidak pula boleh membunuh dan berbuat aniaya terhadap pelaku maksiat. Akan tetapi perkara mereka dirujuk kepada mahkamah syariat. Karena permasalahan ini termasuk perkara yang hanya boleh diputuskan oleh mahkamah syariat.


Pertanyaan :
Bagaimana jika mahkamah syariat tidak ada ?

Jawaban :
Jika mahkamah syariat tidak ada maka cukup dengan memberi nasihat saja. Nasihat bagi pemerintah dan mengarahkan mereka kepada kebaikan serta bekerja sama dengan mereka hingga mereka menegakkan hukum Allah. Dalam kondisi demikian penegak amar ma'ruf nahi mungkar tidak boleh bertindak dengan tangannya, seperti membunuh, memukul dan semacamnya. Namun hendaknya mereka bekerja sama dengan pemerintah dengan cara yang terbaik hingga hukum Allah dapat ditegakkan terhadap masyarakat. Selain itu ia hanya berkewajiban menasihati dan mengarahkan penguasa kepada kebaikan. Kewajibannya ialah mencegah kemungkaran dengan cara yang terbaik. Itulah kewajibannya, Allah berfirman :

"Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At-Thaghabun : 16]

Sebab mencegah kemungkaran dengan tangan, dengan membunuh atau memukul akan menimbulkan kerusakan dan kejahatan yang lebih besar lagi. Hal itu tidak perlu diragukan lagi, khususnya bagi orang yang mencermati perkara tersebut dengan seksama.

Pertanyaan :
Apakah amar ma'ruf nahi mungkar, khususnya mengubah kemungkaran dengan tangan merupakan hak bagi setiap orang atau-kah hak pemerintah atau orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah ?

Jawaban :
Itu merupakan hak semua orang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Barangsiapa melihat sebuah kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak juga mampu maka hendaklah ia benci kemungkaran itu dalam hatinya. Dan hal itu merupakan selemah-lemahnya iman".

Akan tetapi mengubah kemungkaran dengan tangan harus memiliki kemampuan dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan lebih banyak lagi. Hendaklah setiap muslim mengubah kemungkaran dengan tangannya di rumahnya terhadap anak-anak, istri, pembantu atau pegawainya di instansi yang mana ia berwenang di situ.

Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, ia tidak boleh mengubah sesuatu dengan tangan yang tidak mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Sebab jika ia mengubahnya dengan tangan akan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak, musibah yang lebih luas dan keburukan yang lebih parah lagi antara dirinya dengan orang banyak dan antara dirinya dengan pemerintah. Cukup ia cegah dengan lisan, yaitu dengan mengatakan kepada mereka : "Hai Fulan takutlah kepada Allah, perbuatan seperti itu tidak boleh, perbuatan itu haram atasmu, hal ini wajib bagimu!" dan semacamnya. Sambil menjelaskan kapadanya dalil-dalil syar'i.

Adapun mengubah dengan tangan hanya boleh dilakukan menurut kesanggupan di rumahnya terhadap orang-orang yang berada dalam tanggung jawabnya atau terhadap orang-orang yang telah diizinkan oleh pemerintah baginya seperti instansi yang diperintahkan oleh pemerintah dan diberi wewenang untuk melakukannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan dan dengan cara yang syar'i tanpa menambah-nambahi.

[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-siyasi wal fikri 'ala dhauil kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-38 Terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]



 http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=531&bagian=0

Jumat, 21 Januari 2011

Meniti Iman Menggapai Persaudaraan


Selasa, 11 Januari 2011 22:58:06 WIB

MENITI IMAN MENGGAPAI PERSAUDARAAN

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Kaum Muslimin dewasa ini dalam keadaan carut marut dan berpecah belah. Kata ukhuwah (persaudaraan) pun mencuat dan dikumandangkan di mana-mana dengan aneka ragam pengertiannya. Banyak kaum Muslimin mendambakan terwujudnya ukhuwah ini seperti pernah terwujud di masa lampau. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut akhirnya banyak opini dilontarkan dan teori pun dikonsepkan. Bahkan tidak sedikit yang sudah mencoba dan mengusahakannya dengan beragam konsep dan teori. Namun kadang mereka melupakan konsep Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan digariskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab suci-Nya yang paling agung yaitu al-Qur`an. Atau bisa jadi karena ketidaksabaran mereka dalam menunggu hasilnya. Karena itu perlu adanya pencerahan tentang masalah ini.

Ini adalah sedikit upaya dan partisipasi menyampaikan konsep tersebut secara ringkas, dengan mengambil dasar al-Qur`an dan Sunnah serta pernyataan para ulama. Semoga bisa menjadi sebuah pencerahan kepada kaum Muslimin untuk bisa menggapai ukhuwah imaniyah yang dimaksud.

PERSAUDARAAN IMAN BUKAN SEKEDAR BERKUMPULNYA TUBUH
Banyak orang memandang persaudaraan identik dengan kumpulnya tubuh dalam satu organisasi atau kelompok. Hal ini jelas keliru, sebab sebenarnya dasar persaudaraan iman adalah kesatuan hati kaum Muslimin, bukan berkumpulnya tubuh mereka. Hal ini dapat dilihat pada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qur`an yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan persaudaraan kaum Muslimin dengan kalimat (فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ) tidak dengan kalimat (فَأَلَّفَ بَيْنَكُمْ). Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala melihat persatuan hati menjadi sebab persaudaraan iman dan bukan kepada persatuan tubuh.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: "Persatuan hati adalah poros ukhuwah imaniyah (persaudaraan iman) bukan persatuan tubuh. Berapa banyak umat yang berkumpul tubuhnya namun hati mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah l tentang orang Yahudi:

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. [al-Hasyr/59:14]

Tidak ada faedah berkumpulnya tubuh dengan hati yang berpecah belah. Faedah bersatunya hati adalah berkumpulnya hati, walaupun tubuhnya saling berjauhan. Berapa banyak orang yang memiliki hubungan cinta dan persahabatan denganmu namun ia jauh darimu. Dan berapa banyak juga orang yang sebaliknya. Kamu merasa ia bermuka dua dan di antara kamu dengannya tidak ada cinta dan persahabatan. Padahal ia berdampingan denganmu seperti benda dengan bayangannya. Jadi yang penting adalah hati. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ

Maka Allah mempersatukan hatimu. [Ali Imrân/3:103]

Jelaslah persaudaraan terjadi dengan adanya keterikatan antar kaum Muslimin yang dilandasi ikatan agama Islam. Ikatan yang mengikat kuat hati kaum Muslimin seperti satu tubuh yang digambarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

الْمُؤْمِنُونَ كَرَجُلٍ وَاحِدٍ إِنْ اشْتَكَى رَأْسُهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

Kaum mukminin seperti satu orang, jika kepalanya sakit maka seluruh tubuh merasakan demam dan tidak bisa tidur. [Riwayat Muslim]

Persaudaraan ini bukan persaudaraan karena nasab atau fanatisme golongan (hizbiyah) tapi persaudaraan aqidah dan iman. Oleh karena itu Syaikh Muhammad al-Amîn as-Syingqîti rahimahullah menyatakan: "Secara umum tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin, bahwa ikatan yang mengikat di antara penduduk bumi dan yang mengikat antara penduduk bumi dan langit adalah kalimat Lâ ilâha Illa Allâh."[2]

Dengan demikian jelaslah ikatan persaudaraan kaum Muslimin adalah bersatunya hati mereka dalam menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalimat tersebut ditegakkan dengan iman dan ketakwaan sehingga menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatukan hati mereka.

PERSAUDARAAN IMAN ANUGERAH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Tidak ada seorangpun yang dapat menyatukan hati manusia satu dengan lainnya, baik itu nabi maupun para ulama atau yang lainnya. Hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata yang menyatukan hati-hati mereka dengan hikmah dan ke Maha perkasaan-Nya. Betapa tidak, Dia-lah yang telah menyatakan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al- Anfâl/8:62-63]

Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa'di rahimahullah mengatakan: "Mereka bersatu dan bersaudara serta bertambah kuat dengan sebab persatuan tersebut. Itu bukanlah hasil usaha seorang dan dengan satu kekuatan melainkan (hanya) dengan kekuatan Allah Subahnahu wa Ta'ala. Walaupun kamu telah membelanjakan emas dan perak serta selainnya yang ada di bumi ini seluruhnya untuk menyatukan hati mereka setelah perselisihan dan perpecahan yang parah itu, tentulah kamu tidak dapat mempersatukannya. Karena yang mampu menpersatukan hati hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. [3]

Oleh karena itulah Allah l terangkan dengan sangat jelas dalam firman-Nya:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali Imrân/3:103]

Syaikh Salîm bin 'Ied al-Hilâli –Hafizhahullâh- menyatakan: Dengan rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersatukan hati kaum Mukminin di atas ketaatan dan manhaj-Nya. Pantaslah disyukuri atas nikmat ini dengan cara cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan tali-Nya yang kokoh (Islam).[4]

Demikianlah persaudaraan tersebut Allah Azza wa Jalla karuniakan kepada kaum Mukminin yang bertaqwa dan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tidak dikaruniakan kepada orang-orang yang melanggar ajaran syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga tidak akan terwujudkan dengan mengorbankan aqidah dan agama.

KIAT MENGGAPAINYA
Namun ingat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak merubah keadaan satu kaum tanpa ada usaha dari mereka untuk merubah keaadannya. Inilah yang dijelaskan AllahSubhanahu wa Ta'alal dalam firman-Nya:

ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [ar-Ra'd/13:11].

Sehingga untuk mendapatkan persaudaraan iman tersebut dibutuhkan usaha dari kaum Muslimin untuk merubah keadaan mereka sekarang. Mereka harus berusaha untuk menjalankan sebab-sebab persatuan hati dengan meniti iman dan takwa. Di antara cara menggapainya adalah:

1. Meluruskan Aqidah dan cara beragama dengan melakukan tashfiyah (pemurnian agama) dan tarbiyah (pembinaan umat di atas ajaran agama yang murni). Sebab persaudaraan iman yang pernah ada dahulu dihancurkan oleh kebid'ahan dan penyimpangan agama.

Syaikh Muhammad al-Basyîr al-Ibrâhimi menjelaskan :" Setelah kita berfikir, meneliti dan mengkaji keadaan umat dan sumber penyakit-penyakitnya. Kita benar-benar mengetahui bahwa jalan-jalan kebid’ahan dalam Islam adalah pemecah belah kaum Muslimin. Juga kita mengetahui ketika kita melawannya berarti melawan seluruh keburukan". [5]

Jelas, persaudaraan iman harus tegak di atas kemurnian ajaran Islam dan pembinaan umat diatasnya. Kemudian terwujudnya persaudaraan iman di atas ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengantarkan kepada kejayaan Islam sebagaimana pernah dicapai para pendahulunya.

Tentang tasfiyah dan tarbiyah ini Syaikh al-Albâni menyatakan: "Apabila kita ingin kejayaan dari Allah Azza wa Jalla, diangkat dari kerendahan serta dimenangkan dari musuh-musuh kita, maka tidak cukup hanya dengan meluruskan pemahaman dan menghilangkan pemikiran-pemikiran yang menyelisihi dalil-dalil syar’i….,ada faktor lagi yang sangat penting yaitu beramal; karena ilmu adalah sarana untuk beramal. Apabila seorang telah belajar dan ilmunya sudah tertashfiyah, kemudian tidak beramal dengannya, maka secara otomatis ilmu tersebut tidak menghasilkan buah. Sehingga harus menyertakan ilmu ini dengan amal. Sudah menjadi kewajiban para ulama untuk mengurus pembinaan kaum Muslimin yang baru di atas dasar ketetapan yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Jangan membiarkan manusia berada di atas pemikiran dan kesalahan yang mereka warisi. Karena sebagiannya pasti batil menurut kesepakatan para ulama.,.Sebagiannya masih diperselisihkan dan memiliki kekuatan dalam penelitian dan ijtihad serta ra’yu dan sebagian ijtihad dan ra’yu ini menyelisihi sunnah. Setelah tashfiyah terhadap perkara-perkara ini dan menjelaskan semua kewajiban memulai dan berjalan padanya, maka harus ada tarbiyah (pembinaan) terhadap orang-orang baru di atas ilmu yang shahih ini. Pembinaan inilah yang akan membentuk masyarakat Islam yang bersih dan kemudian akan tegak daulah Islam untuk kita. Tanpa dua hal ini, yaitu ilmu yang shahih dan pembinaan yang benar di atas ilmu yang shahîh ini mustahil –menurut keyakinan saya- akan tegak tiang-tiang Islam atau hukum Islam atau Negara Islam.[6]

Beriman dan bertakwa dengan benar yang dihasilkan dari proses at-tashfiyah dan tarbiyah di atas. Sebab persaudaran ini didasarkan kepada iman dan takwa seperti dijelaskan Allah Subahnahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara [al-Hujurât/49:10].

Syaikh Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: "Ini adalah ikatan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai pengikat antar orang-orang yang beriman. Apabila didapatkan pada siapapun juga yang ada diseluruh dunia memiliki iman kepada Allah Azza wa Jalla, malaikat, kitab-kitab suci, para rasulnya dan hari akhir (dengan benar (pen)), maka ia adalah saudara bagi orang-orang yang beriman. Persaudaraan yang mengharuskan kaum Mukminin mencintai (kebaikan-red) untuk mereka sebagaimana mereka mencintai (kebaikan-red) untuk diri mereka sendiri.[7]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjelaskan hubungan tersebut harus ditegakkan dengan takwa dalam firman-Nya:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa. [az-Zukhruf/43:67]

Kecintaan orang-orang bertakwa kekal dan terus bersambung dengan sebab kesinambungan orang yang mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Dasar persaudaraan iman adalah ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai konsekwensi kesempurnaan iman dan takwa. Sebab persaudaraan iman ini adalah ibadah yang tidak diterima tanpa keikhlasan.

3. Komitmen dengan manhaj Islam yang benar dan ketentuannya yang merupakan kesempurnaan ikhlas. Sehingga bersatu dan berpisahpun di atas manhaj Allah Azza wa Jalla sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِن دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu akan mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyatan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [at-Taubah/9:16] demikian juga sabda beliau kepada 7 orang yang mendapatkan naungan-Nya:

وَرَجُلاَنِ تَحَابَا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

Dua orang saling mencintai di jalan Allah berkumpul dan berpisah di atasnya. [Muttafaqun 'alaihi].

Syaikh Salîm bin 'Ied al Hilâli Hafizhahullâh mengomentari hal ini dengan menyatakan: "Berpegang teguh kepada manhaj Islam yang benar dengan semua yang telah Allah l syariatkan. Penerapan teladan baik dari kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah standar (kebenaran). Bukan berpegang teguh kepada hubungan nasab, tokoh, organisasi, partai, madzhab, kelompok, pemerintahan atau kebangsaan. Sesungguhnya kelemahan dan ketidak mampuan yang menggerogoti kehidupan Islam bersumber dari sikap penentangan dan berpaling dari standar (kebenaran) ini. Atau juga usaha-usaha merampasnya dari tangan seorang muslim." [9]

4. Melaksanakan tugas nasehat-menasehati yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komitmen terhadap manhaj yang shahîh. Oleh karena itu para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berbai'at dengannya, sebagaimana dijelaskan Jarîr bin Abdillâh Radhiyallahu 'anhu :

بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Aku berbai'at kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati setiap muslim. [HR al-Bukhâri 1/20]

5. Tugas nasehat-menasehati tentunya menjadikan kaum Muslimin bekerjasama dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. [al-Mâidah/5:2].

Kerja sama yang baik ini akan menghasilkan sikap solidaritas terhadap saudaranya seiman.

6. Memiliki solidaritas, berkorban dan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup saudaranya, sebagai wujud kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman salah seorang kalian hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya. (Muttafaqun 'Alaihi) Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى

Permisalan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembuti seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya sakit maka menjadikan seluruh tubuhnya demam dan tidak bisa tidur. [Muttafaqun ‘Alaihi]

Demikianlah, antara lain sebab terwujudnya ukhuwah imaniyah (persaudaraan iman). Mudah-mudahan Allah Subhanahahu wa Ta'ala memberikan taufiq kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan dan menggapainya. Wabillâhi taufîq.

Marâji'
1. Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm surat ali Imrân, Ibnu Utsaimîn , cetakan pertama tahun 1426 H, Dâr ibni al-jauzi, KSA .
2. Adhwâ' al-Bayâni Fî Idhah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn bin Muhammad al-Mukhtâr asyingqîthy, cetakan tahun 1426 H, Maktabah al-'Ulûm wa al-Hikam, Madinah.
3. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa'di
4. At-Tashfiyah Wa at-tarbiyah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi
5. at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Hâjat an-Nâs ilaha, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
6. Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillâhi Fî Dhu`I al-Kitâb wa as-Sunnah, Syaikh Salîm bin 'Ied al-Hilâli, cetakan pertama tahun 1421 H, Dâr ibnu al-Qayyim.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al-Qur`ân al-Karîm surat ali Imrân, Ibnu Utsaimîn 1/596-597
[2]. Adhwâ' al-Bayân 3/298
[3]. Taisîr al-Karîmir-Rahmân hlm 325
[4]. Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillâhi Fî Dhu`I al-Kitâb wa as-Sunnah, Syaikh Salîm bin 'Ied al-Hilâli, hlm 20.
[5]. al-Ashâlah edisi 1 hlm 34 dinukil dari at-Tashfiyah Wa at-tarbiyah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi hlm
[6]. at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Hâjat an-Nâs ilaha hal 29-31
[7]. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hlm 800
[8]. Ibid hlm 796
[9]. Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillahi , hlm 20.


http://almanhaj.or.id/content/2948/slash/0

Kamis, 13 Januari 2011

Khusyu’ Dalam Shalat Dan Pengaruhnya Bagi Seorang Muslim (1)


Oleh
Syaikh Abdul Bari ats Tsubaiti


Saya wasiatkan kepada Anda semua dan diri saya sendiri untuk bertakwa kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". [ali Imran : 102].

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". [al-Ankabut : 45]

Pembicaraan tentang shalat membutuhkan pengingatan dan pengulangan, tidak boleh ada kebosanan untuk mendengarkannya. Karena shalat merupakan kewajiban yang paling besar pengaruhnya, paling agung penjelasan dan kebaikannyan dan yang paling berbahaya apabila ditinggalkan. Shalat merupakan tiang agama dan kunci surga Allah. Barangsiapa yang menjaga shalat, berarti dia telah berpegang dengan syariat Islam dan mengambil pondasinya. Barangsiapa yang melalaikan shalat, berarti dia telah melalaikan agamanya dari pondasinya.

Shalat juga merupakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati, kejelekan jiwa dan penyakit-penyakitnya; bagaikan cahaya yang menghilangkan pekatnya dosa-dosa dan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan dalam sabdanya :

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

“Apa pendapat kalian, seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, dia mandi disungai itu lima kali sehari; apakah ada kotoran/daki yang tersisa?” Mereka menjawab,”Tidak akan ada kotoran yang tersisa sedikitpun.” Nabi berkata,”Demikianlah permisalan shalat lima waktu. Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dengan sebab shalat.” (HR Muslim).

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits tentang keutamaan wudhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Apabila dia berdiri untuk mengerjakan shalat, kemudian memuji dan mengagungkan Allah dengan pujian yang pantas bagi Allah, dia mengkhusyu’kan hatinya untuk Allah, kecuali dia berpisah dengan kesalahannya sebagaimana keadaannya pada hari dilahirkan oleh ibunya". [HR Muslim].

Seperti inilah buah dari ibadah, dan sedemikian besar hasil dari pelaksanaan ibadah shalat ini, sehingga pantas untuk diperhatian dan ditegakkan. Mari kita jadikan shalat sebagai penghias hidup kita dan bisikan hati kita.

Allahu Akbar; Hayya ‘alash shalat; Hayya ‘alal falah (mari kita kerjakan shalat, mari menuju kebahagiaan), panggilan yang bergema di segenap penjuru, adzan yang menembus telinga untuk membangunkan jasad yang bercahaya dengan keimanan dan hati yang khusyu’.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya" [al Mu'minuun : 1-2]

Dengan khusyu’, seseorang yang shalat dapat menyatukan antara kebersihan lahiriyah dan kebersihan batiniyah, ketika dia berkata dalam ruku`nya :

خَشَع لَكَ َ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظْمِي وَعَصَبِي

"Khusyu’ kepadaMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan otot-ototku". [HR Muslim].

Sedangkan dalam riwayat Ahmad :

وَمَا اسْتَقَلَّتْ بِهِ قَدَمِي

"Dan ketika terangkatnya kedua kakiku untuk Allah".

Dengan kekhusyu’an, akan diampuni dosa-dosa dan dihapus kesalahan-kesalahan, dan ditulislah shalat di timbangan kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

"Tidaklah seorang muslim mendapati shalat wajib, kemudian dia menyempurnakan wudhu`, khusyu’ dan ruku’nya, kecuali akan menjadi penghapus bagi dosa-dosanya yang telah lalu, selama tidak melakukan dosa besar; dan ini untuk sepanjang masa" [HR Muslim]

Shalat, apabila dihiasi dengan khusyu’ dalam perkataan, dan gerakannya dihiasi dengan kerendahan, ketulusan, pengagungan, kecintaan dan ketenangan, sungguh, ia akan bisa menahan pelakunya dari kekejian dan kemungkaran. Hatinya bersinar, keimanannnya meningkat, kecintaannya semakin kuat untuk melaksanakan kebaikan, dan keinginannya untuk berbuat kejelekan akan sirna. Dengan khusyu’, bertambahlah munajat seseorang kepada Rabb-nya, demikian pula kedekatan Rabb-nya kepadanya. Ahmad, Abu Dawud dan Nasaa-i meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَا يَزَالُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ َ فِي صَلَاتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ فَإِذَا الْتَفَتَ انْصَرَفَ عَنْه

"Senantiasa Allah ‘Azza wa Jalla menghadap hambaNya di dalam shalatnya, selama dia (hamba) tidak berpaling. Apabila dia memalingkan wajahnya, maka Allah pun berpaling darinya"

Khusyu’ memiliki kedudukan yang sangat besar. Ia sangat cepat hilangnya, dan jarang sekali didapatkan. Terlebih lagi pada jaman kita sekarang ini. Tidak bisa menggapai khusyu’ dalam shalat merupakan musibah dan penyakit yang paling besar. Rasulullah juga merasa perlu berlindung darinya, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

"Ya, Allah. Aku berlindung kepadaMu dari hati yang tidak khusyu’". [HR Tirmidzi]

Dan tidaklah penyimpangan moral menimpa sebagian kaum Muslimin, kecuali karena shalat mereka bagaikan bangkai tanpa ruh, dan sebatas gerakan belaka. Ath Thabrani dan selainnya meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَوَّل مَا يُرْفَعُ مِن هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوعُ حَتَّى َلَا تَرَى فِيهَا رَجُلًا خَاشِعًا

"Yang pertama kali diangkat dari umatku adalah khusyu’, sehingga engkau tidak akan melihat seorang pun yang khusyu’".

Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata : “Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu’, dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Kadang-kadang seseorang yang shalat tidak ada kebaikannya, dan hampir-hampir engkau masuk masjid tanpa menjumpai di dalamnya seorang pun yang khusyu’”.

Shalat adalah penenang seorang muslim dan hiburannya, puncak tujuan dan cita-citanya. Rasulullah berkata kepada Bilal: “Tenangkan kami dengan shalat”. Beliau bersabda:

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

"Dan dijadikan penyejuk hatiku dalam shalat". [HR Nasaa-i dan Ahmad].

Shalat menjadi penyejuk hati, kenikmatan jiwa dan surga hati bagi seorang muslim di dunia. Seolah-olah ia senantiasa berada di dalam penjara dan kesempitan, sampai akhirnya masuk ke dalam shalat, sehingga baru bisa beristirahat dari beban dunia dengan shalat. Dia meninggalkan dunia dan kesenangannya di depan pintu masjid, dia meninggalkan di sana harta dunia dan kesibukannya untuk membuka lembaran yang dia sebutkan di dalam hatinya. Masuk masjid dengan hati yang penuh rasa takut karena mengagungkan Allah mengharapkan pahalaNya.

Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu , apabila sedang dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat yang ditancapkan. Apabila mengeraskan bacaannya, isakan tangis menyesaki batang lehernya. Sedangkan ‘Umar al Faruq Radhiyallahu 'anhu, apabila membaca, orang yang di belakangnya tidak bisa mendengar bacaannya karena tangisannya. Demikian juga ‘Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apabila dalam keadaan shalat, seolah-olah ia seperti tongkat kayu. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, apabila datang waktu shalat, bergetarlah ia dan berubah wajahnya. Tatkala ditanya, dia menjawab: “Sungguh sekarang ini adalah waktu amanah yang Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka enggan untuk memikulnya dan takut dengan amanah ini, akan tetapi aku memikulnya”.

Di antara manusia ada yang shalat dengan badan dan seluruh persendiannya, menggerakkan lisannya dengan ucapan, menundukkan punggung mereka untuk ruku`, turun ke bumi untuk sujud, akan tetapi, hati mereka tidak bergerak ke arah Allah Sang Pencipta Yang Maha Tinggi. Mereka menampakkan ketundukan, sedangkan hatinya lari menjauh. Mereka membaca al Qur`an, akan tetapi tidak meresapinya. Mereka bertasbih, akan tetapi tidak memahaminya. Mereka berdiri di hadapan Allah dan di dalam rumahNya, akan tetapi, sebenarnya pandangannya ke arah pekerjaan mereka, tinggal bersama ruh mereka di tempat tinggal mereka. Begitulah keadaannya, seseorang telah mengerjakan shalat dalam waktu yang lama, akan tetapi ia tidak pernah menyempurnakan shalatnya, meskipun hanya sehari saja; karena ia tidak menyempurnakan ruku’nya, sujudnya dan khusyu’nya. Barangsiapa keadaannya seperti ini, sungguh ia tidak bisa mengambil manfaat dari shalatnya, sehingga kadang-kadang ia memakan harta manusia dengan batil, melakukan kerusakan di antara manusia, melaksanakan amalan yang bertentangan dengan agama dan akhlak, bahkan dia menjadikan shalat hanya untuk mendapatkan pujian manusia, untuk menutupi kejahatan kedua tangan dan kakinya.

Saudaraku seiman, hadits berikut ini sebagai renungan, sikapilah dirimu dengan jujur, agar mampu melihat posisi kita masing. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

"Sesungguhnya seseorang selesai (dari shalat) dan tidaklah ditulis (pahala) baginya, kecuali sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, setengahya".

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Hasan bin ‘Athiah Radhiyallahu 'anhu berkata : “Sesungguhnya ada dua orang berada dalam satu shalat, akan tetapi perbedaan keutamaan (pahala) antara keduanya bagaikan langit dan bumi”.

Wahai orang yang shalat, sesungguhnya shalat adalah kobaran api pertempuran bersama setan, pertempuran was-was dan bisikan-bisikan, karena kita berdiri pada tempat yang agung, paling dekatnya kedudukan (dengan Allah) dan paling dibenci setan. Kemudian setan menghiasi di depan pandangamu dengan kesenangan, menawarkan keindahan dan godaan. Dia juga mengingatkan yang engkau lupakan, sehingga dia merasa senang ketika shalatmu rusak, sebagaimana baju yang usang, rusak, tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan keutamaan.

Wahai orang yang shalat, barangsiapa yang menempuh metode Nabi dan meniti jalan Nabi dalam shalatnya, niscaya dia dapat memperoleh kekhusyu’an. Untuk bisa meraih khusyu` ada beberapa hal yang bisa membantunya. Yaitu orang yang akan shalat, hendaknya segera menuju masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, ia telah membersihkan pakaiannya, mensucikan badannya, mengkosongkan hatinya dari kesibukan dunia, semerbak harum badannya, meluruskan barisan dan menutup celah dalam barisan, dan ia tidak mengangkat kepalanya ke langit saat shalat, karena hal ini terlarang dan bisa menghilangkan kekhusyu’an.

Termasuk yang juga bisa menolong untuk khusyu’ dalam shalat, yaitu tidak mengganggu orang lain dengan bacaan al Qur`an, tidak shalat dengan pakaian atau baju yang ada gambarnya, tulisannya, ataupun baju berwarna-warni yang bisa mengganggunya, dan mengganggu orang lain. Begitu juga suara-suara yang berasal dari handphone yang mengganggu kaum Muslimin, sehingga merusak kekhusyu’an. Oleh karena itu janganlah membawa suara musik yang berdendang di dalam rumah-rumah Allah tercampur dengan kalam Allah. Kita meminta kepada Allah salamah dan ‘afiyah dari dosa dan kesalahan.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُهَا قَالَ لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا أَوْ قَالَ لَا يُقِيمُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُود

"Sejelek-jelek pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya”. Mereka bertanya,”Wahai, Rasulullah. Bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Rasulullah menjawab,”Dia tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya,” atau ia (Rasulullah) berkata : “Tidak menegakkan tulang punggungnya ketika ruku’ dan sujud". [Diriwayatkan oleh Ahmad]

Termasuk hal terbesar untuk bisa tenang dan khusyu’ dalam shalat, yaitu merenungi dan meresapi makna. Ketika mengucapkan Allahu Akbar, maka renungkanlah kedalaman pemahamannya dan petunjuknya. Allah Maha Besar dari setan yang menipunya di dunia. Allah Maha Besar dari nafsu syahwat, harta, kedudukan dan anak. Maka mantapkan dan tanamkan ke dalam hati, kemudian laksanakan segala konsekwensinya.

Juga renungkanlah pahala yang besar pada setiap bacaan al Fatihah, bacaan ruku`ataupun bacaan-bacaan shalat lainnya. Renungkanlah pahala yang besar, di antaranya apabila imam mengucapkan

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

(bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai, bukan pula jalannya orang-orang yang sesat), maka para malaikat mengucapkan “Amiin”. Barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Begitu pula renungkanlah pahala-pahala yang agung, serta keutamaan-keutamaan besar lainnya saat berdiri, duduk, dzikir-dzikir ruku’ dan sujud. Barangsiapa yang merenunginya, dia akan yakin dengan rahmat Allah, sesembahannya.

Termasuk yang bisa mengantarkan kepada khusyu’, yaitu wasiat Rasulullah yang kekal : “Shalatlah dengan shalat orang yang akan berpisah (dengan dunia)”.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat berdasarkan khuthbah Jum’at Syaikh Abdul Bari ats Tsubaiti di Masjid Nabawi, Madinah al Munawwarah, pada tanggal 16 Rajab 1426 H.

Minggu, 09 Januari 2011

MENYENTUH WANITA APAKAH MEMBATALKAN WUDHU ?

MENYENTUH WANITA APAKAH MEMBATALKAN WUDHU ? PDF Cetak
Fiqh
Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim   
Sabtu, 20 November 2010 23:31
Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi’iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta’lim-ta’lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’.
Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(Abdullah di Salatiga)

Jawab:
Masalah batal atau tidaknya wudhu’ seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu’ seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Syaikh Muqbil rahimahullahu ta’ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut :
Beliau ditanya: “Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu’, baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya ataupun selainnya?” Maka beliau menjawab: “Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu’jamnya dari Ma’qal bin Yasar radliyallahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.
Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.
Mengenai masalah membatalkan wudhu’ atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla :
Atau kalian menyentuh wanita
Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma.
Telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radliyallahu’anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan beliau. Apabila beliau akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’ berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadits Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sampai Allah ‘azza wa jalla turunkan:
Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya :
Berdirilah, kemudian wudhu’ dan shalatlah dua rakaat.
Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu’adz bin Jabal. Ini satu sisi permasalahan. Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak menjadi dalil bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’, karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu’. Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu’, dan engkau telah mengetahui bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan jima’. Wallahul musta’an.

Sabtu, 08 Januari 2011

WAJIBNYA PELAKSANAAN SHALAT DENGAN BERJAMA’AH




Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz



Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada yang merasa berkepentingan dari kalangan kaum Muslimin, semoga Allah menunjukkan mereka ke jalan yang diridhaiNya serta membimbing saya dan juga mereka ke jalan orang-orang yang takut dan takwa kepadaNya. Amin

Amma ba’du.

Telah sampai khabar kepada saya, bahwa banyak orang yang menyepelekan pelaksanaan shalat berjama’ah, mereka beralasan dengan adanya kemudahan dari sebagian ulama. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan tentang besarnya dan bahayanya perkara ini, dan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim menyepelekan perkara yang diagungkan Allah di dalam KitabNya yang agung dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak menyebutkan perkara shalat di dalam KitabNya yang mulia dan mengagungkannya serta memerintahkan untuk memeliharanya dan melaksanakannya dengan berjama’ah. Allahpun mengabarkan, bahwa menyepelekannya dan bermalas-malas dalam melaksanakannya termasuk sifat-sifat kaum munafiqin.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu” [Al-Baqarah : 238]

Bagaimana bisa diketahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengangungkannya, sementara dalam pelaksanaannya bertolak belakang dengan saudara-saudaranya, bahkan menyepelekannya ?

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku” [Al-Baqarah : 43]

Ayat yang mulia ini adalah nash yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan ikut serta bersama orang-orang yang melaksanakannya. Jika yang dimaksud itu hanya sekedar melaksanakannya (tanpa perintah berjamaah), tentu tidak akan disebutkan di akhir ayat ini kalimat (dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’), karena perintah untuk melaksanakannya telah disebutkan di awal ayat.

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata” [An-Nisa : 102]

Allah Subahanahu wa Ta’ala mewajibkan pelaksanaan shalat berjamaah dalam suasana perang, lebih-lebih dalam suasana damai. Jika ada seseorang yang dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah, tentu barisan yang siap menghadap serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkannya. Namun ternyata tidak demikian, karena melaksanakan shalat secara berjama’ah termasuk kewajiban utama, maka tidak boleh seorangpun meninggalkannya.

Disebutkan dalam kitab Ash-Shahihaain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut” [Al-Bukhari, kitab Al-Khusumat 2420, Muslim, kitab Al-Masajid 651]

Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorangpun yang meninggalkan shalat (berjama’ah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya atau orang sakit. Bahkan yang sakit pun ada yang dipapah dengan diapit oleh dua orang agar bisa ikut shalat (berjama’ah)”. Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sunanul huda, dan sesungguhnya di antara sunanul huda itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 654]

Lain dari itu juga mengatakan, “Barangsiapa yang ingin bertemu Allah kelak sebagai seorang Muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat-shalat yang diserukan itu, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk Nabi kalian Shallallahu ‘alaihi wa sallam sunanul huda, dan sesungguhnya shalat-shalat tersebut termasuk suanul huda. Jika kalian shalat di rumah kalian seperti shalatnya penyimpang ini di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat. Tidaklah seorang bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian berangkat ke suatu masjid di antara masjid-masjid ini, kecuali Allah akan menuliskan baginya satu derajat serta dengannya pula dihapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorangpun yang meninggalkan shalat (berjama’ah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya, dan sungguh seseorang pernah dipapah dengan diapit oleh dua orang lalu diberdirikan di dalam shaf (shalat)” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 257, 654]

Masih dalam Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya.

“Artinya : Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat ? ia menjawab, “Ya”, beliau berkata lagi, “Kalau begitu, penuhilah” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan wajibnya pelaksanaan shalat di rumah-rumah Allah yang dizinkan Allah untuk diserukan dan disebutkan namaNya.

Maka wajib bagi setiap muslim adalah memperhatikan perkara ini, bersegera melaksanakannya dan menasehati anak-anaknya, keluarganya, tetangga-tetangganya dan saudara-saudara sesama Muslim, sebagai pelaksanaan perintah Allah dan RasulNya dan sebagai kewaspadaan terhadap larangan Allah dan Rasulnya, serta untuk menghindarkan diri dari menyerupai kaum munafiqin yang mana Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka yang buruk dan kemalasan mereka dalam melaksanakan shalat. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir) ; tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya” [An-Nisa : 142-143]

Lain dari itu, karena tidak melaksanakannya secara berjamaah termasuk sebab-sebab utama meninggalkannya secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekufuran dan kesesatan serta keluar dari Islam berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (Hadits Riwayat Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu) [Muslim, kitab Al-Iman 82]

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir” [Hadits Riwayat Ahmad 5/346, At-Turmudzi 2621, An-Nasa’i 1/222, Ibnu Majah 1079]

Banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan tentang agungnya shalat dan wajibnya memelihara pelaksanaannya.

Setelah tampak kebenaran ini dan setelah jelas dalil-dalilnya, maka tidak boleh seorang pun mengingkarinya hanya karena ucapan si fulan dan si fulan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa : 59]

Dalam ayat lain disebutkan.

“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]

Kemudian dari itu, banyak sekali manfaat dan maslahat yang terkandung di balik shalat berjamaah, di antaranya yang paling nyata adalah : saling mengenal, saling tolong menolon dalam kebaikan dan ketakwaan, saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran, sebagai dorongan bagi orang yang meninggalkannya, sebagai pelajaran bagi yang tidak tahu, sebagai pengingkaran terhadap kaum munafiqin dan cara menjauhi gaya hidup mereka, menampakkan syi’ar-syi’ar Allah di antara para hambaNya, mengajak ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perkataan dan perbuatan, dan sebagainya.

Semoga Allah menunjukkan saya dan anda sekalian kepada yang diridhaiNya, dan kepada kemaslahatan urusan dunia dan akhirat, serta melindungi kita semua dari keburukan jiwa dan perbuatan kita, dan dari menyerupai kaum kuffar dan munafiqin. Sesungguhnya Dia Maha Baik lagi Maha Mulia.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

[Asy-Syaikh Ibnu Baz, Tabshirah wa Dzikra, hal.53-57]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 212-217 Darul Haq]



Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=734&bagian=0

Tempat Meletakkan Kedua Tangan Saat Berdiri Shalat



Jum'at, 17-Desember-2010
Penulis: Al Ustadz Mustamin Musaruddin, Lc.

PERTANYAAN

Dalam praktik shalat, ketika berdiri, ada sebagian orang yang meletakkan kedua tangannya di atas dada, pusar, dan lain-lain. Bagaimanakah tuntunan yang sebenarnya dalam masalah ini?

JAWABAN

Telah tetap tuntunan Rasulullah shallal lahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dalam hadits-hadits yang sangat banyak, bahwa pada saat berdiri dalam shalat, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, dan ini merupakan pendapat jumhur tabi’in dan kebanyakan ahli fiqih, bahkan Imam At-Tirmidzy berkata, “Dan amalan di atas ini adalah amalan di kalangan ulama dari para shahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka ….” Lihat Sunan -nya 2/32.

Akan tetapi, ada perbedaan pendapat tentang tempat meletakkan kedua tangan (posisi ketika tangan kanan di atas tangan kiri) ini di kalangan ulama, dan inilah yang menjadi pembahasan untuk menjawab pertanyaan di atas.

Berikut ini pendapat para ulama dalam masalah ini, diringkas dari buku La Jadida Fi Ahkam Ash-Shalah karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid

Pendapat Pertama , kedua tangan diletakkan pada an-nahr.An-nahr adalah anggota badan antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya ‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari penyembelihan)-.

Pendapat Kedua , kedua tangan diletakkan di atas dada. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq bin Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .

Pendapat Ketiga ,kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut). Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar . Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ (3/313).

Pendapat Keempat , kedua tangan diletakkan di atas pusar. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan Sa’id bin Jubair.

Pendapat Kelima ,kedua tangan diletakkan di bawah pusar. Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad, Ats-Tsaury dan Ishaq

Pendapat Keenam ,kedua tangan bebas diletakkan dimana saja: di atas pusar, di bawahnya, atau di atas dada.

Imam Ahmad ditanya, “Dimana seseorang meletakkan tangannya apabila ia shalat?” Beliau menjawab, “Di atas atau di bawah pusar.” Semua itu ada keluasan menurut Imam Ahmad diletakkan di atas pusar, sebelumnya atau di bawahnya. Lihat Bada`i’ul Fawa`id 3/91 karya Ibnul Qayyim.

Berkata Imam Ibnul Mundzir sebagaimana dalam NailulAuthar , “Tidak ada sesuatu pun yang tsabit (baca: shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka ia diberi pilihan.” Perkataan ini serupa dengan perkataan Ibnul Qayyim sebagaimana yang dinukil dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21).

Pendapat ini merupakan pendapat para ulama di kalangan shahabat, tabi’in dan setelahnya. Demikian dinukil oleh Imam At-Tirmidzy.

Ibnu Qasim, dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21), menisbahkan pendapat ini kepada Imam Malik.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy rahimahullah karena tidak ada hadits yang shahih tentang penempatan kedua tangan saat berdiri melaksanakan shalat.

Dalil-Dalil Setiap Pendapat dan Pembahasannya

Dalil Pendapat Pertama

Dalil yang dipakai oleh pendapat ini adalah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala,

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]

Beliau berkata (menafsirkan ayat di atas -pent.),

وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ عِنْدَ النَّحْرِ

“Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat pada an-nahr.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/31)

Pembahasan

Riwayat ini lemah karena pada sanadnya terdapat Ruh bin Al-Musayyab Al-Kalby Al-Bashry yang dikatakan oleh Ibnu Hibban bahwa ia meriwayatkan hadits-hadits palsu dan tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Lihat Al-Jauhar An-Naqy .

Dalil Pendapat Kedua

Dalil pertama , hadits Qabishah bin Hulb Ath-Tha’iy dari bapaknya, Hulb radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَحْيَى الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meletakkan ini di atas ini, di atas dadanya -dan yahya (salah seorang perawi -pent.) mencontohkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri-.”

Pembahasan

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad -nya (5/226) dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434 (dan lafazh hadits baginya) dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, dari Sufyan Ats-Tsaury, dari Simak bin Harb, dari Qabishah bin Hulb.

Hadits ini diriwayatkan dari Hulb Ath-Tha’iy oleh anaknya, Qabishah, dan dari Qabishah hanya diriwayatkan oleh Simak bin Harb. Selanjutnya, dari Simak bin Harb diriwayatkan oleh 6 orang, yaitu:

   1. Sufyan Ats-Tsaury, akan disebutkan takhrijnya.
   2. Abul Ahwash, diriwayatkan oleh At-Tirmidzy no. 252, Ibnu Majah no. 809, Ahmad 5/227, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id Al-Musnad 5/227, Ath-Thabarany 22/165/424, Al-Baghawy 3/31, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 435.
   3. Syu’bah bin Al-Hajjaj, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2495 dan Ath-Thabarany 22/163/416.
   4. Syarik bin ‘Abdillah, diriwayatkan oleh Ahmad 5/226, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad Wal Matsany no. 2493, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198, Ath-Thabarany 22/16/426, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/73.
   5. Asbath bin Nashr, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/422.
   6. Hafsh bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/423.
   7. Za`idah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 3/198.

Dari ketujuh orang ini, tidak ada yang meriwayatkan lafazh “Meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, kecuali riwayat Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dari Sufyan Ats-Tsaury, yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/226 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 434.

Kemudian, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan bersendirian dalam meriwayatkan lafazh tersebut dan menyelisihi 5 rawi tsiqah lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, yang kelima orang tersebut meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan lafazh “Meletakkannya di atas dada”. Kelima rawi tersebut adalah:

   1. Waki’ bin Jarrah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/342/3934, Ahmad 5/226, 227, Ibnu Abi ‘Ashim no. 2494, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Baihaqy 2/29, Al-Baghawy 3/32, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/74.

    * ‘Abdurrahman bin Mahdy, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny 1/285.
    * ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 2/240/3207 dan dari jalannya Ath-Thabarany 22/163/415
    * Muhammad bin Katsir, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/165/421.
    * Al-Husain bin Hafsh, diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/295.

Hadits Qabishah adalah hadits yang hasan dari seluruh jalan-jalannya. Dihasankan oleh At-Tirmidzy 2/32 dan diakui kehasanannya oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 2/312.

Penyebab hasannya adalah Qabishah bin Hulb, meskipun mendapatkan tautsiq dari sebagian ulama, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Simak bin Harb. Berkata Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, “Maqbul,” yang artinya riwayatnya bisa diterima kalau ada pendukungnya, kalau tidak ada maka riwayatnya lemah.

Riwayat yang hasan tersebut adalah tanpa tambahan lafazh “Meletakkan tangannya di atas dada”.

Jadi jelaslah, bahwa Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini. Wallahu a’lam.

Dalil kedua , Hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ

“Saya shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.”

Pembahasan

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih -nya 1/243 no. 479 dari jalan Abu Musa (Al-‘Anazy), dari Mu`ammal (bin Isma’il), dari Sufyan Ats-Tsaury, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu.

Riwayat ini adalah riwayat yang syadz atau mungkar karena Mu`ammal bin Isma’il meriwayatkannya dengan tambahan lafazh “di atas dada”, dan dia menyelisihi 2 orang selainnya yang meriwayatkan dari Sufyan, yaitu:

   1. ‘Abdullah bin Al-Walid (diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/318).
   2. Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby ( Al-Mu’jamul Kabir /Ath-Thabarany no. 78).

Juga meyelisihi 10 orang yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib. Kesepuluh orang tersebut adalah:

   1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 1/456 no. 726, 1/578 no. 957 dari jalan Musaddad, darinya (Bisyr bin Al-Mufadhdhal), dan An-Nasa`i 3/35 hadits no. 1265 dari jalan Isma’il bin Mas’ud, darinya.
   2. ‘Abdullah bin Idris, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih -nya ( Al-Ihsan 3/308/hadits no. 1936) dari jalan Muhammad bin ‘Umar bin Yusuf, dari Sallam bin Junadah, darinya (‘Abdullah bin Idris).
   3. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, diriwayatkan oleh Ahmad 4/316 dari jalan Yunus bin Muhammad, darinya, Al-Baihaqy 2/72 dari jalan Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, dari Ahmad bin ‘Ubeid Ash-Shaffar, dari ‘Utsman bin ‘Umar Adh-Dhabby, dari Musaddad, darinya.
   4. Zuhair bin Mu’awiyah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan Aswad bin ‘Amir, darinya, dan Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/26/84 dari jalan ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz, dari Abu Ghassan Malik bin Isma’il, darinya.
   5. Khalid bin Abdullah Ath-Thahhan, diriwayatkan oleh Al Baihaqy 2/131 dari 2 jalan, yaitu dari jalan Abu Sa’id Muhammad bin Ya’qub Ats-Tsaqafy, dari Muhammad bin Ayyub, dari Musaddad, darinya, dan dari jalan Abu ‘Abdillah Al-Hafizh, dari ‘Ali bin Himsyadz, dari Muhammad bin Ayyub, dan seterusnya seperti jalan di atas.
   6. Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy di dalam Musnad -nya hal 137/hadits 1060 darinya, dan Ath-Thabarany ( Al-Mu’jamul Kabir 22/34/80) dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
   7. Abu ‘Awanah, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/34/90 dari 2 jalan: dari jalan ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz, dari Hajjaj bin Minhal, darinya, dan dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
   8. Qais Ar-Rabi’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jamul Kabir 22/34/79 dari jalan Al-Miqdam bin Daud, dari Asad bin Musa, darinya.
   9. Ghailan bin Jami’, diriwayatkan oleh Ath-Thabarany 22/34/88 dari jalan Al-Hasan bin ‘Alil Al-‘Anazy dan Muhammad bin Yahya bin Mandah Al-Ashbahany dari Abu Kuraib, dari Yahya bin Ya’la, dari ayahnya, darinya.
  10. Zaidah bin Qudamah, diriwayatkan oleh Ahmad 4/318 dari jalan ‘Abdushshamad, darinya.

Mu`ammal bin Isma’il sendiri adalah rawi yang dicela hafalannya. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib ,memberikan kesimpulan, “Shaduqun Sayyi`ul Hifzh,” sementara dia sendiri telah menyelisihi ‘Abdul Wahid dan Muhammad bin Yusuf Al-Firiyaby pada periwayatannya dari Sufyan Ats-Tsaury, serta menyelisihi 10 orang rawi dari ‘Ashim bin Kulaib lainnya yang sebagian besarnya adalah tsiqah dan semuanya tidak ada yang meriwayatkan lafazh “pada dadanya”.

Ada jalan lain bagi hadits Wa`il bin Hujr ini, yaitu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy 2/30 dari jalan Muhammad bin Hujr Al-Hadhramy, dari Sa’id bin ‘Abdil Jabbar bin Wa`il, dari ayahnya, dari ibunya, dari Wa`il bin Hujr, tetapi terdapat beberapa kelemahan di dalamnya:

    * Muhammad bin Hujr lemah haditsnya, bahkan Imam Adz-Dzahaby, dalam Mizanul I’tidal ,mengatakan, “Lahu manakir ‘meriwayatkan hadits-hadits mungkar’.” Lihat juga Lisanul Mizan .
    * Sa’id bin ‘Abdul Jabbar, dalam At-Taqrib ,disebutkan bahwa ia adalah rawi dha’if.
    * Ibu ‘Abdul Jabbar. Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Saya tidak tahu keadaan dan namanya.”

Dalil ketiga , hadits Thawus bin Kaisan secara mursal, dia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mengeratkannya di atas dadanya,dan beliau dalam keadaan shalat.”

Pembahasan

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam kitabnya, As-Sunan , no. 759 dan dalam Al-Marasil hal. 85 dari jalan Abu Taubah, dari Al-Haitsam bin Humaid, dari Tsaur bin Zaid, dari Sulaiman bin Musa, dari Thawus. Sanadnya shahih kepada Thawus, tetapi haditsnya mursal, dan mursal adalah jenis hadits yang lemah.

Dalil keempat , Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah Ta’ala ,

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” [ Al-Kautsar: 2 ]

Beliau berkata,

وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى وَسَطِ سَاعِدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ فِي الصَّلاَةِ

“Beliau meletakkan tangan kanannya di atas sa’id ‘ setengah jarak pertama dari pergelangan ke siku ’ tangan kirinya, kemudian meletakkan kedua tangannya di atas dadanya di dalam shalat.”

Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 30/326, Al-Bukhary dalam Tarikh -nya 3/2/437, dan Al-Baihaqy 2/30.

Pembahasan

Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsir -nya, “(Atsar) ini, (yang) diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib, tidak shahih (lemah-pent.).”

Berkata Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy , “Di dalam sanad dan matannya ada kegoncangan.”

Berikut rincian kelemahan dan kegoncangan atsar ini.

   1. Atsar ini telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/343, Ad-Daraquthny 1/285, Al-Hakim 2/586, Al-Baihaqy 2/29, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 673, dan Al-Khatib dalam Mudhih Auham Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/340. Semuanya tidak ada yang menyebutkan kalimat “di atas dada”, bahkan dalam riwayat Ibnu ‘Abdil Barr, dalam At-Tamhid ,disebutkandengan lafazh “di bawah pusar”. Lihat pula Al-Jarh Wat Ta’dil 6/313.
   2. Perputaran atsar ini ada pada seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin Al-‘Ujaj Al-Jahdary, yang dari biografinya bisa disimpulkan bahwa ia adalah seorang rawi yang maqbul. Baca Mizanul I’tidal dan Lisanul Mizan .
   3. ‘Ashim ini telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini. Kadang dia meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Zhahir, kadang dari ‘Uqbah bin Zhabyan, kadang dari ‘Uqbah bin Shahban, dan kadang dari ayahnya, dari ‘Uqbah bin Zhabyan. Baca ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4/98-99.

Maka atsar ini adalah lemah. Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam Tafsir -nya bahwa atsar ini menyelisihi jumhur mufassirin. Wallahu a’lam.

Kesimpulan

Seluruh hadits yang menunjukkan bahwa kedua tangan diletakkan pada dada ketika berdiri dalam shalat adalah lemah dari seluruh jalan-jalannya dan tidak bisa saling menguatkan. Wallahu a’lam.

Dalil-Dalil Pendapat Ketiga, Keempat dan Kelima

Dalil-dalil ketiga pendapat ini mungkin bisa kembali kepada dalil-dalil yang akan disebutkan, namun perbedaan dalam memetik hukum, memandang dalil, dan mengkompromikannya dengan dalil yang lain menyebabkan terlihatnya persilangan dari ketiga pendapat tersebut.

Berikut ini uraian dalil-dalilnya.

Dalil pertama , dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ الْأَكُفِّ عَلَى الْأَكُفِّ تَحْتَ السُّرَّةِ

“Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar.”

Diriwayatkan oleh Ahmad 1/110, Abu Daud no. 756, Ibnu Abi Syaibah 1/343/3945, Ad-Daraquthny 1/286, Al-Maqdasy no. 771,772, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 20/77. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity yang para ulama telah sepakat untuk melemahkannya sebagaimana dalam Nashbur Rayah 1/314.

Dalil kedua ,dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ مِنَ السُّنَّةِ

“Meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan di bawah pusar di dalam shalat termasuk sunnah.”

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 758. Dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdurrahman bin Ishak Al-Wasity.

Dalil ketiga , dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ وَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ

“Termasuk akhlak-akhlak kenabian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”

Ibnu Hazm menyebutkannya secara mu’allaq ‘tanpa sanad’ dalam Al-Muhalla 4/157.

Kesimpulan Pembahasan

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan tentang penempatan (posisi) kedua tangan pada anggota badan dalam shalat adalah hadits-hadits yang lemah. Dengan ini, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat keenam, yaitu bisa diletakkan dimana saja: di dada, di pusar, di bawah pusar, atau antara dada dan pusar. Wallahu a’lam.
http://an-nashihah.com/?p=70

TATACARA DUDUK TASYAHHUD AKHIR DALAM SETIAP SHALAT (BG.TERAKHIR)


PDF Cetak
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Hafizhahulloh   
Jumat, 10 Desember 2010 13:07
KESIMPULAN

Dari apa yang telah kami paparkan pada pembahasan tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Syafi'i dan yang bersamanya, yang menjelaskan bahwa cara duduk terakhir yang benar adalah duduk tawarruk, dan bukan duduk iftirasy.

Ketika kami menguatkan pendapat ini, bukan berarti kami mencela pendapat yang menyelisihi pendapat kami, apabila yang nampak baginya menyelisihi apa yang telah kami sebutkan, dan demikian pula sebaliknya. Namun bagi seorang muslim, setelah nampak baginya pendapat yang lebih kuat dalam satu masalah, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyatakan "kebenaran lebih patut untuk diikuti".

Semoga Allah Subhaahahu wata’aala memberi taufik kepada kita semua, dan semoga Allah senantiasa memberikan istiqamah kepada kita, agar terus berjalan diatas jalan Allah Subhaahahu wata’aala, hingga kita bertemu dengan-Nya.


Sumber : Risalah Ilmiah “Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 68-69